Kelap-Kelip Aya ( Part 1)
Doraya Adriani, itulah nama yang telah
diberikan ayah dan ibu ketika aku dilahirkan ke dunia ini. Nama yang cukup
singkat tapi mampu memberikan kesan menarik terhadap semua orang yang
mengenalku. Biasanya, teman-teman memanggilku Aya. Aku lahir pada tanggal 27
Maret 1997, di kota ku tercinta, Bontang. Aku masih ingat ketika nenek
menceritakan perihal bahwa aku memiliki saudara kembar laki-laki, namun ia
telah meninggal pada saat ibuku melahirkan aku dan dia. Aku selalu berdoa
kepada Allah agar ia selalu diberikan perlindungan olehNya, di alam sana.
Aku bersekolah di SMPN 12 Bontang
kelas VIII , aku memilih sekolah ini karena alasan letaknya yang dekat
dengan tempat tinggalku dan karena aku suka dengan sekolah ini yang masih asri,
banyak pepohonan yang tumbuh, entah ditanam atau tumbuh dengan sendirinya di
sekitar halaman sekolah,dan merupakan peraih adiwiyata. Aku punya dua orang
sahabat perempuan yang satu sekolah denganku, mereka adalah Ergayani Sasmita
Ningrat atau biasa dipanggil Erga dan Kailan Mahfudzah atau Kailan. Kami
bersahabat sejak kelas 5 SD di SD Kihadjar Dewantara. Kita mulai yah,
kisahku....
Seperti biasa, tepat pukul 18.00 Kailan
sudah menungguku untuk ke Masjid dan melaksanakan salat Magrib berjamaah di
depan rumah.
“Assalamualaikum, Aya. Ke masjid bareng yuk??”
sapaan yang biasa ia lontarkan, dan aku sudah sangat hafal dengan suara
manisnya.
“Waalaikumussalam... Iya, Kailan, tunggu bentaryah,
aku ambil mukenah dulu” jawabku sembari gesit mengambil perlengkapan salat di
atas meja ruang tamu .
Setelah mengambil mukenah, dan
mengapitnya di lengan kananku, aku mulai menampakkan diri di ambang pintu, dan
tersenyum kepada Kailan. Ia sangat cantik dengan rok panjang ungu tua dipadu
dengan atasan ungu muda, dan jilbab yang tentunya menutupi dada. Kalau boleh
jujur, aku malu dengan pakaianku yang belum bisa dikatakan pakaian muslimah
ini, celana jeans yang ketat dengan kaos lengan panjang, dan jilbabku hanya
menutupi dada. Tapi tidak apalah, menurutku Kailan saja yang gak
stylish dan ketinggalan jaman.
Sepanjang perjalanan menuju ke masjid
aku bertanya padanya,
“kamu udah ngerjain pr matematika yang
100 nomor itu belom?”
“udah sih, tapi baru 67 nomor yang
aku baru kerjain jadi kurang 33 nomor lagi” jawabnya agak bimbang.
“Ohh, kalau aku sih baru 15 nomor, kan dikumpulnya juga masih minggu depan,
ngapain cepat-cepat dikerjain?” sengatku dengan nada bercanda.
“Kan biar gak numpuk tuh PR makanya aku kerjakan cepat-cepat”
jawabnya meyakinkanku.
Aku hanya tersenyum mendengar
jawabannya. Dalam hati aku merasa tidak enak juga. Kailan sangat rajin dan
sopan, pintar lagi. Sedangkan aku ? Jauh banget dari dia.Kami menikmati
perjalanan yang sebenarnya singkat ini, hanya 200 meter, tapi kami berjalannya
santai saja, karena tak mau terburu-buru. Tiba-tiba ada seorang nenek tua yang
pakaiannya lusuh, ia berjalan dengan gontai , parasnya menampakkan kalau ia
belum makan, mungkin dari dua hari yang lalu. Entah mengapa nenek itu hanya
diam dan hanya menatap aku dan Kailan. Biasanya kalau ada orang yang keadaan
seperti ini, pasti akan segera meminta tolong pada orang yang dijumpai. Nenek
itu hanya terpekur menatap kami. Kami yang merasa ditatap tidak enak juga untuk
meninggalkan nenek itu, tiba tiba ia mengisyaratkan pada kami, ia memegang
perutnya, memegang mulutnya dan melambaikan tangannya.
“Kayaknya nenek itu bisu dan ingin
meminta makan pada kita deh, Aya” kata Kailan setengah berbisik kepadaku.
“Iya juga, kamu punya sesuatu nggak ?”
tanyaku dengan suara pelan.
“Aku hanya punya ini” ujarnya sambil
mengeluarkan uang Rp 5000 dari saku roknya.
“Hmmmm, aku juga hanya punya ini”
lanjutku seraya mengeluarkan Rp 2000 sebanyak 2 lembar.
Kailan menggabungkan uang kami berdua,
dan ia menyerahkan uang kami itu kepada nenek tadi. Nenek itu pun tersenyum dan
mengucap syukur dengan gaya dan isyarat yang kami tidak mengerti. Kami pun
tersenyum kemudian menyalami nenek itu.
“Kami pamit dulu ya, Nek. Mau pergi ke
Masjid untuk salat Magrib berjamaah” kata Kailan.
Kami meninggalkan nenek itu dan segera
melanjutkan perjalanan.Aku dan Kailan mempercepat langkah kami karena sebentar
lagi adzan Magrib dikumandangkan. Kami sampai di Masjid tepat pada saat Muadzin
melantunkan panggilan salat untuk kaum Muslimin ini dengan lantang dan
merdunya. Karena sudah berwudhu dari rumah tadi, jadi kami tidak perlu untuk
mengambil air wudhu lagi, dan segera menempati shaf. Selesai adzan, aku melihat
Kailan berdiri untuk salat.
“Lan, kamu mau salat apa? Kan belum
qomat” tanyaku heran.
“Oh, aku mau salat sunnah qobla Magrib
dulu 2 rakaat” jawabnya santai.
“Ohhhh” lanjutku.
Kailan melaksanakan salat dengan
khusyuk. Wajahnya tenang dan sangat bersungguh-sungguh. Tepat selesai Kailan
salat sunnah, muadzin mengumandangkan qomat . Para jamaah salat pun segera
berdiri dan meluruskan shafnya. Aku dan Kailan berada di shaf ke 2 perempuan.
Selesai shalat, kami berdzikir dan
melanjutkan kegiatan dengan membaca Al-Qur’an, aku memiliki target untuk
menyelesaikan bacaan Al-Qur’an ku hingga selesai semester akhir nanti.
Ini adalah upaya yang kulakukan agar prestasiku juga ikut meningkat.
Selesai salat isya’, aku dan Kailan
pulang bersama, perjalanan pulang kami ini agak menegangkan juga, karena hari
sudah malam. Namun, diiringi lantunan dzikir yang tak putus-putusnya Kailan
ucapkan, membuat perjalanan kami tenang. Di persimpangan jalan, kami berpisah.
Kailan berbelok ke arah jalan Bengawan, sedagkan aku berbelok ke arah jalan
Dirgantara.
Keesokan paginya, aku bangun dengan
semangat yang baru. Diantara anggota-anggota keluargaku, aku lah yang paling
cepat bangunnya.Selesai salat subuh, karena tidak mau merepotkan ibu, aku
memasak sendiri untuk sarapan. Aku membuat nasi goreng udang, roti selai kacang
dan tak lupa 2 gelas susu untuk ku dan ayah. Selesai pekerjaanku di dapur, aku
segera mandi dan berseragam, hari ini ada ulangan fisika bab “ Getaran dan
Gelombang “, aku sudah siap dan yakin karena sudah belajar tadi malam. Setelah
mandi dan berseragam, dengan sigap kusantap sarapan yang aku buat tadi,
“ Rasanya enak loh, Aya... “ komentar
ibu yang juga sudah siap untuk bekerja.
“ Makasih yah, udah dibuatin susu,
tumben nih... “ sahut ayah dengan nada bercanda.
Aku hanya tersenyum mendengar ocehan
ayah ibuku yang sangat kucintai ini, aku berharap aku akan sering bangun pagi
dan membuatkan sarapan untuk mereka. Oh iya, ibuku bekerja di kantor
pemerintahan Kota Bontang. Sedangkan ayahku sebagai dosen di STTIB (Sekolah
Tinggi Teknologi Industri Bontang). Memang sih, kedua orang tua ku sibuk, tapi
mereka tetap selalu meluangkan waktu untuk ku.
“ Ayah, ibu..., Aya berangkat dulu yah?
“ pamitku setelah sarapan sambil menyalami keduanya.
“Siipp, Aya... sukses yah ulangannya !”
sahut ayahku sambil mengelus kepalaku.
Ketika membuka pintu pagar, ternyata
lalu lalang kendaraan tak bisa kuhindarkan, aku harus berhati-hati, kulihat
teman-temanku di SMPN 12 sudah banyak yang berdatangan. Baru saja lima langkah,
seseorang menepuk pundakku dari belakang
“ Oiii ... “ katanya membuatku kaget
“ Ehh, Erga ! aku kaget tahu !! “
kataku agak ketus.
“ Sorry deh, aku kan
Cuma mau ngetes kejiwaan kamu “ katanya sambil tertawa.
“ Hahaaa, sembarangan aja ! Ayo
berangkat “ ujarku melupakan hal yang tadi.
Kami berjalan menikmati suasana pagi
ini. Oh iya, Erga ini sifatnya jauh beda sama Kailan. Erga kocak dan sangat
cerewet, dia hobi mengomentari apa aja, padahal belum tentu apa yang dia
lakukan benar, aku juga suka sifatnya yang Percaya Diri, bayangkan ia berani
tampil membaca puisi menggantikan Sonia yang tiba-tiba pingsan di atas panggung
pada acara malam perpisahan kelas IX tahun lalu. Semua orang memujinya, bukan
karena baca puisi bagus, namun karena keberanian dan kepercayaan dirinya, aku
juga salut dengan Erga.
Tiba di pintu gerbang, tiba-tiba Erga
langsung berlari kencang meninggalkanku. Oh ternyata, ia menolong Getha yang
tiba-tiba jatuh dari sepeda, Getha adalah murid kelas VII. Aku segera
menghampiri Erga dan Getha,
“Kamu baik-baik aja kan ?” tanyaku pada
Getha.
“Iya, kak. Aku nggak papa kok,”
balasnya sambil berdiri dan membersihkan roknya yang terkena debu pasir.
“Makasih ya, Kak Erga” lanjutnya pada
Erga.
“Oke, lain kali hati-hati yah..” balas
Erga sembari menepuk pundak Getha.
Getha segera meninggalkan kami, ia
melangkah dengan riang, seperti tidak ada tanda-tanda bahwa ia habis jatuh dari
sepeda.
“Ke kelas yuk, Aya?” ajak Erga.
“Hmm” sahutku
Kami tiba di kelas tepat pukul 07.15.
Sebelum pelajaran di mulai, sekolah kami punya budaya untuk berbaris dan berdoa
di depan kelas terlebih dahulu,tata cara berdoanya menurut kepercayaan dan
keyakinan masing-masing. Selesai berdoa, ketua kelas VIII C memberi aba-aba
untuk masuk ke kelas dengan tertib. Ketika masuk kelas dan duduk di bangku, aku
baru sadar kalau Kailan tidak masuk, kemana yah dia ?
Aku mengikuti pelajaran dengan perasaan
sedikit tidak konsentrasi karena memikirkan Kailan. Biasanya ia akan memberi
kabar kepadaku kalau tidak masuk via telepon pada malam harinya, tapi tadi
malam sewaktu pulang dari masjid tampaknya tidak ada apa-apa pada dirinya, ia
sehat-sehat saja. Kalau begitu sepulang sekolah nanti aku akan ke rumah Kailan
dan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.
Pelajaran Fisika adalah pelajaran
terakhir, untuk kali ini aku tidak mau memikirkan Kailan dulu karena harus
berkonsentrasi dengan ulangan. Untungnya soalnya tidak sesulit yang aku
bayangkan, aku merasa yakin dengan ulangan kali ini, semoga sukses dan mendapat
nilai yang bagus.
Sepulang sekolah, dengan rasa penasaran
yang luar biasa, aku berniat untuk pergi ke rumah Kailan. Aku tidak perlu
khawatir untuk pulang ke rumah, karena biasanya ibu belum pulang dari tempat
kerjanya. Aku mempercepat langkah kaki ku ketika melewati seorang cowok yang
sangat aku benci, namanya Rama. Dia adalah murid kelas IX, aku tidak suka
padanya karena ia nakal, namun siapa sangka, dibalik kenakalannya ia adalah
peserta OSN (Olimpiade Siswa Nasional) bidang matematika. Andai saja ia tidak
nakal, ah pikirku sedikit error.
Rumah Kailan kosong, sudah kucoba untuk mengetuk pintu depan dan belakang
rumahnya. Namun hasilnya nihil, aku semakin khawatir tentang Kailan. Padahal
baru saja tadi malam dia pergi bersamaku ke masjid. Mengapa sekarang ia tidak
ada.
“ Nyari siapa ya, Mbak ?” suara seorang ibu-ibu mengagetkanku.
“Hmm, Kailan nya kemana ya, Bu ?” tanyaku sigap tanpa basa-basi.
“Kailan anaknya Bu Juariah ?” tanya Ibu itu lagi.
“Iya,” jawabku lagi.
“Bu Juariah dan keluarga sudah pindah. Mereka berangkat pagi-pagi buta sekitar
jam setengah empat dini hari. Soal pindah kemana, saya tidak tahu pasti, Mbak
!” kata Ibu itu.
“Hah?? Pindah ? Kok mendadak sekali, ?” tanyaku penasaran.
“Nah, itu dia yang saya tidak tahu,Mbak?” jawab Ibu itu.
“Saya pamit dulu ya, Bu” kataku kemudian masih dalam keadaan bingung.
“Iya, Mbak. Nanti kalau ada kabar saya akan beri tahu ke Mbak“ kata Ibu itu di
sela-sela kepamitanku.
Aku hanya tersenyum, meskipun masih dalam keadaan penasaran. Kailan dan
keluarga pindah tanpa pamit kepada siapa pun, termasuk Ibu itu sebagai tetangga
dekatnya. Aku teringat sesuatu, ku keluarkan handphone ku dari
dalam tas, aku mencoba untuk menelepon Kailan. Hasilnya nihil, handphonenya
tidak aktif. Kemana perginya kamu,Kailan? Padahal kemarin malam kita baru
berangkat ke masjid bersama, dan sekarang kamu hilang entah kemana. Aku tidak
akan membiarkan keadaan ini hanya larut sebagai angin lalu saja. Aku akan
mencari kemana perginya Kailan sampai titik darah penghabisan,ceileh.
Jam menunjukkan pukul 14.45 saat aku sampai di rumah. Sudah kupastikan, tidak
ada orang di dalam rumah karena ayah dan ibuku belum pulang dari kerja.
Kuhempaskan badanku ke atas sofa di ruang tamu, aku lelah sekali. Lelah jasad
dan rohani. Aku berniat akan menceritakan perihal Kailan kepada Ayah dan Ibu
ketika mereka sampai dirumah nanti.
Ayah dan Ibu pulang pada pukul 15.55, dan saat itu juga aku terbangun dari
tidurku. Segera aku berlari ke kamar mandi dan menunaikan salat Ashar. Untung
waktu ashar belum habis, gumamku dalam hati. Selesai salat aku segera mandi,
badanku penat dan letih, walaupun tadi sudah tidur siang, tapi bau badan ini
sudah tidak bisa dibiarkan lagi. Sekitar 20 menit aku sudah mandi dan memakai
baju, kulihat di ruang tamu ada ayah yang lagi sibuk dengan laptopnya,
sedangkan ibu ada di dapur sedang membuat sesuatu.
“Ayah lagi sibuk yah ??” tanyaku manja seraya duduk disamping
ayah.
“Nggak juga kok, Ya. Ayah lagi mendata murid-murid ayah yang sudah
menyelesaikan skripsinya “ jawab ayah kemudian menatapku.
“Memangnya kenapa? Ada masalah?” tanya ayah sambil membenarkan letak
kacamatanya.
Tanpa ragu-ragu, aku menceritakan perihal Kailan yang telah pindah tanpa pamit
atau menginformasikan sedikitpun hari ini juga, Ayah cukup kaget, sesaat beliau
menghela nafasnya. Dalam hati aku merasa kasihan juga, Ayah baru aja pulang
kerja dan aku sudah merecoki beliau dengan masalah Kailan.
“Aya, gimana kalau Ayah lapor ke pihak polisi? Siapa tahu ayah bisa dapat
sedikit benang merah dari masalah ini. Ayah kenal baik dengan ayah Kailan, Pak
Budi adalah orang yang tidak suka menyembunyikan masalahnya” ujar Ayah datar,
mukanya serius.
“Tapi, Yah,, setelah Aya pikir kayaknya kita nunggu sampe 3 hari lagi deh,
siapa tahu aja, keluarga Kailan hanya pulang sebentar ke Sidoarjo menjenguk
neneknya” kataku asal menebak kemana keluarga Kailan pergi sembari
memperhatikan wajah ayah yang kelihatannya bingung.
“Oke kalau itu mau kamu, toh tadi yang heboh juga siapa??” kata Ayah berusaha
bercanda diikuti dengan senyumanku.
Setelah puas ngobrol dengan Ayah, aku beranjak dari sofa dan segera pergi ke
kamar mandi untuk mengambil air wudu, suara adzan dari masjid sebelah terdegar
merdu memanggil sejenak hati para kaum muslimin untuk bersimpuh pada Allah SWT.
Ayah bertanya apakah aku mau ikut ke masjid bareng ayah, tapi aku menolak dan
dan beralasan karena Kailan tidak ada. Akhirnya, aku hanya melaksanakan salat
Magrib di rumah bersama Ibu.
Malam hari setelah salat Isya, Erga meneleponku. Ia juga menanyakan apakah aku
tahu kabar Kailan, aku menjawab aku juga tidak tahu dan menenangkan Erga dengan
mengatakan bahwa kita harus menunggu tiga hari dulu, jika dalam tiga hari
Kailan tidak muncul jua, maka kami pun akan bertindak, hahaa.
(bersambung, ces. Jangan Khawatir )
0 komentar:
Posting Komentar